iklan

Ini Bukan Tentang Pilkada

Ini bukan tentang pemilihan kepala daerah. Tetapi jika hendak dihubungkan karena dianggap memiliki sedikit kemiripan, maka juga tidak ada masalah. Tapi tulisan ini hanyalah penggalan kenangan pada suatu masa yang terbayang dan lalu coba saya ceritakan.

Tentu bayangannya tak semua bisa saya gambarkan dengan kata-kata secara utuh di sini, tetapi yang pasti bahwa apa yang akan saya ceritakan dalam tulisan ini, kondisinya kini telah jauh berubah.


Begini ceritanya, suatu hari belasan tahun lalu, ada keramaian di kampung. Sesuatu yang tak biasa. Hampir semua penduduk dari beberapa dusun di balik gunung, datang ke pusat desa dengan penuh semangat dan ekspresi bahagia di wajah.

Pakaian yang paling bagus dipakai. Berbondong-bondong orang-orang melangkahkan kaki berkilo jauhnya. Sebagian dengan barang bawaan di pundak sambil menggiring kuda beban yang juga sarat dengan muatan. Beras, kayu bakar alat musik dan tas penuh berisi pakaian terlihat di antaranya. Di desa sebagai tempat tujuan, telah disiapkan rumah- rumah penduduk untuk tempat tinggal para kontingen ini selama beberapa hari.

Beberapa hari lagi upacara peringatan hari besar nasional akan diadakan di lapangan desa. Kehadiran warga dusun yang selama ini hari-harinya hanya sibuk di sawah dan kebun, kini akan mengikuti perayaan untuk meramaikan hari besar nasional sebagai wujud jiwa nasionalisme mereka yang tak bisa dipandang remeh.

Menyambut peringatan hari besar nasional, di tingkat desa memang biasanya diadakan pertandingan beberapa cabang olahraga selama beberapa hari pada pagi dan sore hari. Malamnya ada lomba seni yang selalu mampu menyedot perhatian warga untuk datang meraba-raba di jalan setapak dalam kegelapan malam hanya untuk bisa menyaksikan.

Salah satu pertandingan olahraga yang daya pikatnya selalu mampu menyihir penonton untuk tidak beranjak dari tempatnya berdiri sekalipun hujan mengguyur dan sesekali wajahnya keciprat lumpur dari kaki-kaki telanjang para pemain adalah pertandingan sepakbola.

Para penonton begitu bersemangat menyaksikan jalannya pertandingan. Dan yang tak kalah bersemangatnya adalah para pemain sepakbola meski kondisi lapangan pertandingan sangat terbatas dan perlengkapan yang digunakan seadanya. Tapi teriakan penonoton yang terus menyemangatilah yang membuat mereka lupa akan segala keterbaasan itu.

Lalu setelah pertandingan selesai dan tim jagoan keluar sebagai pemenang, para penonton yang jagoannya menang bahkan sering tidak meyadari jika pertandingan telah usai dan hujan telah berganti terik serta lumpur di ujung hidungnya telah kering.

Penonton dan tim jagoannya yang kalah melangkah gontai meninggalkan arena. Wajah-wajah mereka menggambarkan ekspresi yang sulit ditebak. Tapi beberapa suara dari barisan tim kalah itu terdengar menyalahkan wasit. Suara yang lain menyumpahi kondisi lapangan, lumpur dan hujan yang semestinya tidak turun agar permainan bisa tampil lebih hebat.

Saya yang lebih awal meninggalkan arena setelah melihat awan gelap merayapi puncak gunung, berdiri di jalan depan rumah yang akan dilalui para pemain bersama rombongan penonton pendukungnya. Dari jauh sulit saya tebak barisan pemain yang kalah dan yang menang. Sebab semua tampak bersemangat mengeluarkan pendapat masing-masing. Yang kalah pun tampaknya telah menemukan cara menyemangati diri.

"Siapa kalah?" Tanya saya yang awalnya mengira kelompok barisan paling depan itulah pemenangnya.

"Kami kalah 2-0 tapi 3 pemain lawan tersungkur dan diangkat ke luar," jawab salah seorang pemain yang berjalan pincang dan tampak masih memakai kostum kebanggaannya.

"Hmm.. Pantas.." gumam saya dalam hati.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Ini Bukan Tentang Pilkada"

Post a Comment