iklan

Balloi

Balloi adalah nama panggilan untuk seorang lelaki tua yang sudah saya kenal sejak saya masih bocah. Saya bahkan sangat akrab dengan Balloi karena Ia sering datang ke rumah kami di sebuah areal pertanian di sebuah dusun terpencil di Desa Ralleanak daerah pegunungan Sulawesi Barat sekarang.

Balloi seorang yang pandai ma'tuttulang dalam bahasa Rallenak atau sangat piawai mendongeng. Kepandaian mendongeng itulah kesan pertama yang saya terima tentang diri Balloi sejak saya mulai mengenal orang-orang di sekeliling saya, yang ketika itu usia saya baru beberapa tahun.

ilustrasi
Saya mengenal Balloi ketika usianya sudah tua. Entah berapa puluh tahun usianya ketika itu, tapi salah satu cirinya yang saya kenali adalah jika bertemu di jalan Ia terlihat sudah mulai berjalan bungkuk.

Ciri lainnya, Ia suka bercelana pendek, baju kemeja lengan pendek besar warna putih kusam yang lebih terlihat kelabu. Di kepalanya ada kopiah hitam lusuh dan terlihat seperti warna cokelat. Di lehernya ada sebuah "sepu-sepu" atau tas kain yang diselempang dan kadang-kadang dikepit, serta kain sarung yang selalu melilit di pinggangnya.

Tapi usia tua dengan penampilan bersahaja Balloi ini bagi saya ketika itu, justru semakin menegaskan kehebatannya bercerita bagi kami anak-anak yang senang mendengarkan cerita-cerita dongeng di malam hari sebelum tidur.

Wajah tua dan penampilan sederhana Balloi menambah kharisma tersendiri dalam dirinya untuk bertutur. Tidak puas rasanya bagi saya ketika itu dalam mendengar sebuah cerita dongeng, kalau tidak langsung dari bibir Balloi sendiri. Padahal ketika itu banyak orang lain yang menghapal salah satu atau beberapa dongeng yang sering juga dikisahkan Balloi. Tetapi lewat penuturan Balloi, kisah itu menjadi lebih seru.

Jadilah sosok Balloi begitu lekat di ingatan saya. Itu karena dia sering mendongengkan kami di rumah malam-malam ketika saya masih kecil. Kisah-kisah yang diceritakan atau didongengkan Balloi banyak. Sering satu dongeng diceritakan kembali beberapa kali karena permintaan saya, atau dia akan menuturkan kisah yang baru ketika saya memintanya untuk becerita kisah yang lain.

Diantara cerita-ceritanya, ada satu kisah yang masih terkesan bagi saya hingga saat ini. Yaitu sebuah dongeng yang menurut saya jalan ceritanya mirip kisah seorang peneliti atau mahasiswa yang tengah mengikuti program KKN di desa dan dalam kisahnya tersesat di hutan.

Entah dari mana Balloi mendapatkan kisah itu. Tetapi dongeng itu membuat saya berpikir kalau Balloi ini memiliki pengetahuan melampaui kehidupannya. Sebab kisah itu tentu bukan pengalamannya sendiri dan juga dengan melihat kehidupan sehari-harinya, mustahil Ia bisa mendapatkan kisah itu dari orang lain karena terbatasnya akses bagi dirinya untuk bertemu dengan orang-orang dari luar.

Untuk sementara saya menduga, mungkin saja ketika mudanya dia pernah jauh berkelana melanglang buana. Namun yang saya lihat di usia tuanya, kehidupan Balloi hanya sebatas beraktivitas mencangkul di sawah, di rumah, dan sering tinggal menyendiri di gubuk kecilnya di sawah, dan sekali-sekali saya dengar Ia lama tidak kelihatan karena tinggal di kebun kopi miliknya jauh di tengah hutan.

Terlepas siapa pengarang asli cerita yang didongengkan Balloi itu, tetapi kelebihan Balloi dalam berkisah menurut saya adalah karena Ia mampu menuturkan cerita itu sangat nyata sehingga kami yang mendengarnya seolah-olah melihat langsung kejadian itu.

Kelebihan Balloi itulah yang mendorong saya sejak mengenal pelajaran tentang sastra, tentang mendongeng dan tentang mengarang cerita yang saya peroleh di sekolah, untuk mengenal Balloi lebih jauh.

Keinginan untuk mengenal lebih dekat Balloi itu, membuat saya pernah suatu ketika menanyakan keberadaan dan keadaan Balloi kepada almarhum Ibu saya. Saat itu saya diberi tahu Ibu, jika Balloi sudah sangat tua dan kabarnya ia tinggal di salah satu rumah kerabatnya dan sudah tidak lagi bisa kemana-mana.

Akhirnya, keinginan saya untuk bertemu Balloi ketika itu tak kesampaian. Sebab selain Ia tidak pernah lagi menampakkan diri, waktu itu saya juga disibukkan aktivitas bersekolah di daerah lain yang jauh dari tempat Balloi tinggal.

Tentang nama Balloi, satu yang saya tahu bahwa panggilan dengan sebutan Balloi bagi diri Balloi sendiri adalah panggilan untuk semua orang. Sebab itu, sangat sering saya mendengar Balloi menyebut saya atau memanggil orang lain dengan sebutan Balloi.

Di usia saya yang masih kecil ketika mengenal Balloi, saya pernah menanyakan kepada Ibu mengapa Balloi memanggil saya dengan sebutan Balloi juga, dan mengapa anak-anak memanggilnya dengan menyebut namanya, yaitu Balloi.

Padahal seorang anak di kampung kami, dianggap tabu dan tidak pantas memanggil nama bagi seseorang yang lebih tua apa lagi yang setua Balloi. Tapi peraturan itu sepertinya tidak berlaku untuk nama Balloi.

Karena itulah sangat sering juga saya menyapa atau memangginya langsung dengan panggilan Balloi. Kata Ibu saya ketika itu, tentang Ia dipanggil dengan nama Balloi, itu ada ceritanya.

Karena sebenarnya, nama asli Balloi yang saya tahu dari almarhumah Ibu dan almarhum Bapak, juga dari Bibi adalah Lehok atau Ta Lehok. Ia dipanggil dengan sebutan Balloi ada kisahnya tersendiri dari sebuah kejadian dalam kehidupan Balloi di usia muda bersama dengan teman-temannya.

Akhirnya dari kejadian itu, Ia dan teman-temannya saling memanggil dengan sebutan Balloi. Sampai tua panggilan itu terus melekat bahkan ke anak-anak se usia saya juga dipanggilnya dengan sebutan Balloi.

Dan dalam pergaulan sehari-hari kalau bertemu dengan siapa pun Ia juga memanggil orang lain dengan sebutan Balloi. Ia kemudian lebih dikenal dengan nama Balloi.

Misalnya ketika Balloi datang di rumah kami yang di tengah sawah, saya akan bilang, "Pa'tuttulangang ki Balloi," (ayo mendongen lagi Balloi), Ia akan berkata, "Bengi ke' ne Balloi," (nanti malam saja ya Balloi).

Bagi saya, Balloi itu, gudangnya cerita. Mungkin Ia buta huruf, tapi kisah-kisahnya entah fiksi atau benar-benar nyata, bisa Ia kisahkan dengan sangat menarik.

Hal lain sejauh yang saya tahu dari kehidupan Balloi, adalah Ia suka menyendiri. Jika tidak salah Ia juga tidak pernah menikah dan tidak punya anak. Ia sering tinggal sendiri di gubuknya di sawah dan kadang-kadang di rumah kerabat dekatnya di perkampungan.

Nah waktu sering tinggal di gubuknya di sawah itulah saya sering bertemu dengan Balloi. Sawah yang digarap Balloi, berdampingan dengan sawah yang digarap Almarhum Bapak di mana di swah itu ada rumah tempat kami tinggal.

Saya waktu kecil tinggal di rumah di sawah itu. Dalam masa itu, Balloi sering datang ke rumah. Kadang-kadang sengaja saya panggil ke gubuk kecilnya, supaya nginap di rumah kami yang sedikit lebih besar, dan setelah malam sebelum tidur, dia akan mendongeng.

Sayangnya, saya mengenal Balloi ketika saya masih sangat kecil. Bahkan belum sekolah. Saya tidak lagi pernah bertemu Balloi sejak saya pindah sekolah ikut kakak di Desa Aralle setelah Bapak meninggal.

Di masa bersekolah itu, saya masih sering datang ke rumah di sawah sampai setelah saya masuk Sekolah Lanjutan Tingkat Atas tapi Balloi tidak pernah lagi saya lihat.

Seperti yang telah saya ceritakan di atas, almarhum Ibu saya mengatakan, bahwa Balloi sudah sangat tua. Sawah yang biasa Ia garap, dikerjakan orang lain.

Mungkin di masa-masa saya SD di Desa Aralle, Balloi masih pernah datang ke tempat kami di sawah, tapi saya yang kebetulan tidak ada.

Lalu dari mana asal nama Balloi?

Menurut informasi yang saya dengar, Balloi dan teman-temnanya di masa muda, pernah mengalami kejadian yang berkaitan dengan ballo. Ballo dalam beberpa dialeg bahasa di pegunungan artinya suluh.

Istilah ballo atau suluh ini merujuk pada sebuah alat sederhana yang digunakan sebagai penerang kegelapan dalam perjalanan di malam hari.

Biasanya ballo dibuat dari bilah-bilah bambu, atau beberpa potong bambu yang masih utuh, lalu sengaja dibelah-belah kemudian diikat dan salah satu ujungnya dibakar. Bisa juga dari lembaran-lembaran daun kelapa, diikat lalu salah satu ujungnya dibakar untuk menerangi perjalanan malam hari.

Tentang alat penerang di malam hari yang diberi nama suluh, saya berpendapat, mungkin nama itulah yang merupakan asal-usul istilah penyuluhan. Artinya kegiatan menyampaikan suatu hal agar menjadi jelas dan terang bagi orang banyak. Dan yang memiliki profesi memberikan penyuluhan dinamai penyuluh.

Istilah ballo atau balloi yang awalanya menggunakan alat yang sangat sederhana ini kemudian juga digunakan untuk menyebut aktivitas menerangi sesuatu dalam kegelapan sekalipun dengan menggunakan alat lain misalnya lentera, atau lampu minyak.

Nah aktivitas menerangi inilah yang menjadi asal mula nama Balloi untuk si lelaki tua yang pandai mendongeng itu. Diceritakan, bahwa suatu malam, Balloi bersama teman-temanya sedang asyik entah dalam hal apa, namun salah seorang di antara mereka entah melakukan apa dalam gelap, lalu diterangi atau diballoi oleh yang lain. Dan bagi Balloi dan kawan-kawan, itu adalah kejadian lucu. Dari kejadian lucu ini, mereka kemudian saling memanggil dengan sebutan Balloi.

Kini ketika saya menulis tentang Balloi ini, Talehok atau Balloi sudah tiada. Ia telah lama meninggal. Saya dengar Ia meninggal ketika saya duduk di bangku SLTA. Padahal waktu itu juga, sempat saya akan cari dan temui Balloi. Tapi seperti yang saya katakan di atas, niat itu tidak pernah kesampaian.

Selamat jalan Balloi, damailah di sisiNya..

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Balloi"

Post a Comment