JIKA anda suatu waktu datang ke kota Mamasa, dan ingin melihat
sesuatu yang identik dengan Mamasa, saya usulkan, kunjungilah rumah adat
Mamasa.
Salah satunya anda bisa lihat di lokasi percontohan rumah adat Mamasa di
Tondok Sirenden Kecamatan Tawalian Kabupaten Mamasa. Lokasinya tidak
jauh dari rumah jabatan Ketua DPRD Mamasa.
Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan datang di tempat ini. Tiba
di lokasi, saya melihat rumah-rumah adat yang ada di kompleks ini
kesannya seperti tidak terawat.
Beberapa bagian bangunan mengalami kerusakan termasuk atap rumah dari
kayu yang terlihat sudah lapuk. Saya harus akui, ada kesan "horor" yang
datang begitu saja menyelinap di benak saya ketika berada di antara
bangunan-bangunan tua itu.
Melangkah ke halaman depan, saya disambut seorang perempuan yang dengan ramah langsung mengulurkan tangannya menyalami saya.
Perempuan itu datang dari sebuah bangunan rumah berlantai dua dengan
arsitektur modern yang berdiri tak jauh dari kompleks rumah adat. Saya
mengajaknya berbincang. Namanya Ibu Arni Pua'lillin, putri dari mendiang
PH Pua'lillin, pendiri rumah adat tersebut.
Di belakang rumah tempat dia datang, saya sempat melihat ada sebuah
bangunan tradisonal lain yang mirip dengan rumah adat. Kata Ibu Arni,
itu adalah tempat jasad ayahnya terbaring. Itu adalah kuburan.
Ibu Arni lalu menjelaskan, rumah-rumah adat yang berjejer menyamping di
hadapan kami, namanya masing-masing adalah; banua surak, banua bolong,
banua rapak, dan yang paling ujung adalah banua lungkarring.
Di hadapan jejeran rumah adat, ada tiga buah bangunan menyerupai rumah adat juga namun lebih kecil dan tiangnya tinggi. Beberapa jengkal dari tanah di atas tiang sebelum badan bangunan itu, ada semacam lantai yang bisa digunakan untuk duduk santai dibelai angin sambil melihat-lihat lembah dengan petak-petak sawah di kejauhan.
Menurut Ibu Arni, bangunan bertiang tinggi tersebut adalah tempat untuk
menyimpan padi atau lumbung. Dalam bahasa Mamasa namanya adalah alang
dan lantai dibawahnya yang bisa untuk duduk santai itu namnya sali
alang.
Alang yang berdiri berjejer searah jejeran rumah adat tersebut, terdiri
dari tiga macam yaitu alang surak, alang bolong dan alang biasa. Dinamai
alang surak karena dinding luarnya berukir dengan paduan warna tertentu
yang unik.
Berikutnya adalah alang bolong yang seluruh dindingnya diberi cat warna
hitam tanpa ukiran. Satunya lagi adalah alang biasa, ukurannya lebih
kecil dan tidak diberi warna.
Ibu Arni yang siang itu meluangkan waktunya berperan sebagi pemandu
mengatakan, alang biasa ini memang tidak punya nama khusus, ia dikenali
dari cirinya yang tanpa warna dan ukiran.
Masing-masing bangunan baik Banua maupun Alang dengan cirinya sendiri,
kata Ibu Arni, menjadi simbol yang membedakan siapa pengguna atau
pemiliknya.
Banua surak dan alang surak atau rumah dan lumbung yang memiliki ukiran
dengan paduan warna-warna unik, merupakan rumah tempat tinggal dan
tempat menyimpan padi kepala adat.
Penjelasan tentang makna dan fungsi banua bolong, banua rapak dan banua
lungkarring serta dua model alang atau lumbung yang lain juga saya
dapatkan dari Ibu Arni, tapi tidak saya tuliskan di sini.
Saya lebih tertarik menceritakan mengapa bangunan-bangunan ini sampai
terkesan terlantar dan sempat menimbulkan kesan horor di benak saya.
Ibu Arni bercerita, kondisi bangunan-bangunan yang saya saksikan itu memang kelihatan terlantar karena kendala perawatan.
Padahal sebelum-sebelumnya kata Ibu Arni, bangunan ini ramai dikunjungi
bahkan telah menjadi objek wisata menarik bagi para turis asing yang
bahkan sering tidak segan-segan mau menginap di rumah-rumah ini.
Tapi karena tingginya biaya perawatan yang harus ditanggung keluraga
untuk mempertahankan bangunan ini dan tidak adanya perhatian dari
pemerintah, lambat laun bangunan ini kian terlupakan. Beberapa bagian
bangunan juga kini telah mengalami kerusakan.
Kata Ibu Arni, turis asing sudah jarang mampir mengunjungi bangunan ini
karena soal aturan retribusi. Menurut Ibu Arni, turis asing tidak mau
masuk tanpa ada karcis retribusi.
Sementara permohonan pihak keluarga yang diajukan kepada pihak
pemerintah agar lokasi ini dijadikan objek wisata daerah, hingga saat
ini tidak ada kabar beritanya.
Ibu Arni sendiri tidak mau menyebut pemerintah daerah Kabupaten Mamasa
tidak mau peduli pada pemeliharaan peninggalan orang tuanya itu sebagai
salah satu objek wisata, ia mengatakan, dirinya sebagai salah seorang
warga Mamasa mempersilahkan kepada siapa saja untuk datang dan melihat
kondisi sejumlah objek wisata yang ada di Mamasa.
Tidak hanya di bangunan peninggalan orang tuanya itu, tetapi juga ke
semua tempat-tempat yang pernah diperkenalkan karena dianggap memiliki
nialai budaya atau sejarah yang mungkin bisa disebut tempat wisata. Kata
Ibu Arni, biarlah pengunjung nantinya yang akan memberi penilaian.
0 Response to "Eksotisme Wisata Rumah Adat Mamasa "
Post a Comment